Fauzilblog001.blogspot.com Sekedar membuatkan untuk sahabat islam, kali ini perihal paparan Ustadz Felix Siauw mengenai Al-qur'an bukanlah fiksi melainkan Al-qur'an ialah Kalamullah.
Fiksi sejarah, terkesan memang aneh, lantaran sejarah harusnya non-fiksi, bagaimana sanggup dicampur dengan fiksi? Maksud saya, seri "Ghazi" ini fiksi tapi berdasar sejarah, walau aku tidak berani mengklaim 100% benar, lantaran aku masih manusia
Itulah penggolongan karya insan yang ada fiksi ada juga non fiksi, sanggup jadi faksi atau puisi. Bila sudah bicara fiksi, maka batasan menulis sanggup lebih diperluas, tak perlu 100% benar, dan tidak ada yang protes
Misal Harry Potter merapal mantra "Expecto Patronum" berbentuk rusa berkilat, anda tak perlu protes perihal masuk budi atau tidak, cukup berimajinasi tentangnya. Atau bagaimana Ang Cit Kong mengayun Tongkat Penggebuk Anjing, ini juga tinggal diimajinasi saja. Fiksi memang niscaya akan merangsang daya imajinasi
Tapi bukan berarti semua yang menciptakan berimajinasi ialah fiksi. Ini logical fallacy, ini kelemahan berpikir. Apalagi lantaran logika hancur tak Islami semisal ini lantas kita menyamakan Al-Qur'an dengan fiksi, ini kesalahan lebih parah lagi
Sebab kita menurunkan derajat Al-Qur'an dari ilahiyah (dimensi Tuhan) menuju insaniyah (dimensi manusia). Al-Qur'an tidak lagi kita tempatkan dalam maqamnya, keadaan seharusnya. Sebagaimana Muktazilah yang menganggap Al-Qur'an itu setara makhluk
Allah menyampaikan Dia Mahacinta dan Mahakasih, tapi bukan artinya Allah itu manusiawi, lantaran Allah itu dilarang dsetarakan dengan makhluk-Nya, begitu contohnya
Yang disebut memang tidak eksklusif Al-Qur'an, tapi Al-Qur'an pun dipahami Muslim sebagai kitab suci. Karenanya aku tak ingin jika anak-keturunan aku menganggap bahwa Al-Qur'an itu fiksi, gara-gara kita semua membisu lantaran kita hanya berpijak pada kepentingan yang sama bukan kebenaran Islam
Pastikan diri kita berjuang dan berdakwah lantaran Allah bukan hanya kepentingan sekilas mata, bukan urusan dunia. Jangan hanya lantaran urusan sementara, lantas kita tutup mata akan kesalahan, bahkan membenarkan yang salah, atau membela kesalahan
Saya paham betul gerombolan penista agama penjilat rezim fiktif ini memanfaatkan situasi, melapor atas dasar penistaan agama padahal mereka ahlinya. Tapi tetap saja, mendapatkan bahkan membela pernyataan "(Kitab suci) Al-Qur'an itu Fiksi", sama sekali tak terlintas dan tak pantas bagi saya
Kita tidak sanggup menyapu dengan kotoran, tak sanggup melihat dengan kegelapan. Islam itu murni tak perlu campuran, Allah memenangkan yang taat bukan yang banyak, yang benar bukan yang pintar. Cukup bagi kita "Al-Qur'an itu kalamullah".
Sumber: Akun resmi ustadz felix siauw
Ilahiyah dan Insaniyah
Ada orang bertanya pada saya, "Lix "Udah Putusin Aja" itu kategori buku apa?". Saya jawab "Non-fiksi". Lalu ditanya lagi, "Kalau serial Ghazi?". Saya balas lagi "Fiksi sejarah". BegituFiksi sejarah, terkesan memang aneh, lantaran sejarah harusnya non-fiksi, bagaimana sanggup dicampur dengan fiksi? Maksud saya, seri "Ghazi" ini fiksi tapi berdasar sejarah, walau aku tidak berani mengklaim 100% benar, lantaran aku masih manusia
Itulah penggolongan karya insan yang ada fiksi ada juga non fiksi, sanggup jadi faksi atau puisi. Bila sudah bicara fiksi, maka batasan menulis sanggup lebih diperluas, tak perlu 100% benar, dan tidak ada yang protes
Misal Harry Potter merapal mantra "Expecto Patronum" berbentuk rusa berkilat, anda tak perlu protes perihal masuk budi atau tidak, cukup berimajinasi tentangnya. Atau bagaimana Ang Cit Kong mengayun Tongkat Penggebuk Anjing, ini juga tinggal diimajinasi saja. Fiksi memang niscaya akan merangsang daya imajinasi
Tapi bukan berarti semua yang menciptakan berimajinasi ialah fiksi. Ini logical fallacy, ini kelemahan berpikir. Apalagi lantaran logika hancur tak Islami semisal ini lantas kita menyamakan Al-Qur'an dengan fiksi, ini kesalahan lebih parah lagi
Sebab kita menurunkan derajat Al-Qur'an dari ilahiyah (dimensi Tuhan) menuju insaniyah (dimensi manusia). Al-Qur'an tidak lagi kita tempatkan dalam maqamnya, keadaan seharusnya. Sebagaimana Muktazilah yang menganggap Al-Qur'an itu setara makhluk
Allah menyampaikan Dia Mahacinta dan Mahakasih, tapi bukan artinya Allah itu manusiawi, lantaran Allah itu dilarang dsetarakan dengan makhluk-Nya, begitu contohnya
Yang disebut memang tidak eksklusif Al-Qur'an, tapi Al-Qur'an pun dipahami Muslim sebagai kitab suci. Karenanya aku tak ingin jika anak-keturunan aku menganggap bahwa Al-Qur'an itu fiksi, gara-gara kita semua membisu lantaran kita hanya berpijak pada kepentingan yang sama bukan kebenaran Islam
Pastikan diri kita berjuang dan berdakwah lantaran Allah bukan hanya kepentingan sekilas mata, bukan urusan dunia. Jangan hanya lantaran urusan sementara, lantas kita tutup mata akan kesalahan, bahkan membenarkan yang salah, atau membela kesalahan
Saya paham betul gerombolan penista agama penjilat rezim fiktif ini memanfaatkan situasi, melapor atas dasar penistaan agama padahal mereka ahlinya. Tapi tetap saja, mendapatkan bahkan membela pernyataan "(Kitab suci) Al-Qur'an itu Fiksi", sama sekali tak terlintas dan tak pantas bagi saya
Kita tidak sanggup menyapu dengan kotoran, tak sanggup melihat dengan kegelapan. Islam itu murni tak perlu campuran, Allah memenangkan yang taat bukan yang banyak, yang benar bukan yang pintar. Cukup bagi kita "Al-Qur'an itu kalamullah".
Sumber: Akun resmi ustadz felix siauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar